Manage Your Mind, or Someone Else Will
“Menabur pikiran, menuai tindakan,” nasihat Samuel Smiles, sebagaimana kerapkali dikutip oleh Stephen R. Covey.
Sebab kita menginginkan hasil, dan hasil adalah buah dari tindakan, maka cermatlah terhadap pikiran yang menjadi bibitnya.
Mengapa ada orang yang mencapai hasil sedang yang lain tidak?
Cermati pikirannya, sebab dari sana lah semuanya bermula.
Tapi apa itu pikiran? Seperti apa persisnya mengelola pikiran itu? Dan mengapa pula orang lain bisa mengambil alih pikiran kita jika tak kita kendalikan?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sangat erat kaitannya dengan NLP.
Menguasai cara mengelola pikiran adalah langkah awal menjadi pemimpin diri, menjadi orang bertanggung jawab atas responnya sendiri.
Pikiran itu seperti film.
Ya, seperti, bukan sama. Film adalah analogi yang menarik untuk menggambarkan cara kerja pikiran.
Ada film yang kita tonton hingga menggerakkan pikiran, seperti jenis film berlayar 3 dimensi.
Namun ada film yang tak meninggalkan jejak. Bedanya dengan film, pikiran kita tak memerlukan perangkat khusus untuk menciptakan efek-efek itu, sebab semuanya sudah ada di dalam.
Silakan pikirkan orang yang Anda cintai. Apa yang muncul?
Ada gambar? Ada suara? Ada sensasi rasa?
Bagus. Sampai di sini saja kita sudah menyadari bahwa yang bernama pikiran rupanya sesuatu yang memiliki struktur.
Ada yang saat berpikir, gambar lah yang seketika tampak dalam benak.
Ada yang seketika mendengar suara, kata-kata, lagu dalam kepalanya.
Ada yang merasakan sensasi rasa di bagian tubuh tertentu. Ada yang kombinasi dari ketiganya.
Nah, gambar, suara, dan rasa itu, terdiri dari 2 unsur:
struktur dan isi.
Isi soal cerita dalam pikiran itu.
Apa, siapa, dimana, kapan yang Anda pikirkan.
Struktur, adalah soal bagaimana ia tergambakan, terdengar, dan terasa dalam pikiran Anda.
“Siapa yang muncul dalam benak Anda saat memikirkan seseorang yang Anda cintai?” adalah pertanyaan soal isi.
“Bagaimana kah orang itu tergambar dalam benak Anda? Berwarna, 3 dimensi, dekat? Atau hitam putih, 2 dimensi, jauh? Bagaimana pula suaranya terdengar? Stereo, mono, keras, lembut? Apa sensasi yang Anda rasakan? Perasaan hangat di dada, berdegup kencang, mengalir ke bagian tubuh yang lain?” adalah pertanyaan soal struktur, soal ‘bagaimana’ sebuah ingatan disimpan.
Dan, NLP adalah soal struktur ini. Sebab dalam banyak kali, struktur lah penyebab kita senang atau sedih, semangat atau loyo, antusias atau bosan, dsb.
Sebuah pekerjaan, netral saja adanya. Tapi kala ia diingat dalam gambar yang suram, hitam putih, kabur, 2 dimensi, suara-suara atasan yang memekakan telinga, sehingga hadir sensasi cemas dan takut dalam diri, jadilah ia menyebalkan.
Lain cerita kala ia diingat dalam gambar yang cerah, 3 dimensi, warna warni, suara-suara yang merdu, lalu timbul rasa senang bercampur bahagia yang menyelimuti seluruh tubuh.
Dan menariknya, kesemua struktur itu berada dalam kendali kita. Ya, sebab hidup memang selalu terdiri dari 2 bagian.
Satu ada di tangan Tuhan, satu diberikan pada kita melalui potensi pikiran yang Dia berikan. Yang pertama adalah kejadian yang kita alami, yang terjadi tanpa kita bisa kendalikan.
Yang kedua adalah cara kita menyimpan dalam ingatan, dalam pikiran, yang bisa kita kendalikan.
Allah mungkin menakdirkan kita mengalami kehilangan dompet, namun pilihan ada dalam diri kita untuk menyimpan peristiwa itu sebagai ingatan yang traumatik atau reflektif. Pikiran kemarahan atau keikhlasan.
OK, bagaimana persisnya kita mengelola pikiran?
Dengan memegang remote control pikiran kita sendiri. Persis seperti menonton film, kita bisa memilih film yang kita tonton, mempercepat atau memperlambatnya, mengubah warnanya, mengecil-besarkan suaranya, dst.
Sejatinya kita memiliki control panel dalam pikiran yang bisa kita kendalikan sesuai kebutuhan.
Mengalami kejadian yang menakutkan? Cek bagaimana ia terekam. Jika gambarnya besar, kecilkan. Jika suaranya besar, kecilkan.
Mengalami kejadian yang mengesankan? Cek bagaimana ia terekam. Jika gambarnya sedang, besarkan.
Jika suaranya kecil, tinggikan. Jika intensitas sensasi rasanya biasa saja, naikkan. Persis seperti sutradara film yang leluasa menentukan bagaimana tiap adegan terjadi.
Ini lah state management, alias pengelolaan kondisi. Dan state jenis ini, yang langsung bersentuhan dengan kejadian, disebut sebagai primary state. Menariknya, kita tidak hanya memiliki state jenis ini. Kita memiliki banyak jenis state lain. Salah satunya adalah meta state, alias state tentang state.
Semisal Anda senang membaca. Maka senang adalah primary state Anda, yakni kondisi dasar yang langsung Anda rasakan saat membaca. Namun jangan berhenti disitu. Jika Anda ingin meningkatkan dampak dari state senang ini, Anda bisa menambahkan state lain di atasnya, misalnya bangga, sehingga Anda bangga dengan kesenangan Anda membaca. Bukankah sekarang sensasi yang Anda rasakan pun menjadi berbeda?
Contoh lain, state malas. Anda malas membersihkan rumah. Bagaimana jika sekarang kita tambahkan state malu, sehingga Anda menjadi malu atas rasa malas Anda membereskan rumah? Bukankah yang terakhir ini memicu perilaku yang berbeda pada diri Anda?
Maka menurut Michael Hall—salah satu NLP Developer yang mengembangkan model ini—untuk mengubah state, kita tidak hanya bisa menggunakan pengubahan submodalitas sebagaimana yang kita lakukan pada primary state. Kita bisa—bahkan lebih mudah—mengubahnya dengan melakukan pengubahan meta state.
Apa pasal?
Ya sebab ada kaidah bahwa state yang di atas mengendalikan state yang ada di bawahnya. Dengan kata lain, state yang di atas berfungsi sebagai kerangka (frame) bagi state di bawahnya. Persis seperti salah satu presuposisi NLP yang mengatakan bahwa makna tergantung pada konteks tempat ia berada. Maka makna dari sebuah state, bergantung pada makna dari state yang berada di atasnya.
Wow! Betapa menariknya saya menemukan hal ini kala pertama kali memahaminya. Sebab menurut pengalaman saya, pengubahan meta state terasa lebih ’halus’ daripada mengubahprimary state. Primary state acapkali merupakan simtom semata. Masalah yang sebenarnya terletak pada meta state yang menaunginya. Michael Hall sering mengatakan, ”People never be the problem. The frame is the problem.” Masalahnya bukan terletak pada orangnya, melainkan pada kerangka berpikir (meta state) yang ia gunakan saat itu.
Nah, kalau sudah tahu begini, lalu mengapa pula saya tadi mengatakan bahwa bisa saja pikiran kita diambil alih oleh orang lain?
Ya sama prosesnya. Bagaimana jika Anda menonton TV, lalu remote control-nya Anda letakkan di meja tanpa disentuh. Anda pun tak terlihat ingin menonton secara serius apa yang sedang tertayang. Apa yang akan terjadi kala seseorang datang? Ya, ia akan mengambil remote itu, dan mengambil alih tayangan Anda. Akhirnya, Anda ’dipaksa’ untuk menikmati tayangan pilihannya.
Begitu pula dengan pikiran kita. Ia tak pernah berhenti bekerja selama kita hidup. Jika kita tak mengendalikan, maka ia akan merespon semata pada apa yang terjadi di sekeliling. Membiarkan hal ini terjadi, jangan heran jika tiba-tiba kemudian kita kehilangan arah dalam hidup, tak termotivasi, tak bergairah, dan kawan-kawannya.
Maka jika Jack Welch pernah mengatakan, ”Change your destiny, or someone else will”, saya ingin mengatakan, ”Manage your mind, or someone else will.” Kelola pikiran, tentukan tujuan, capai hasil, dan rasakan kebahagiaan.
Sebab kita menginginkan hasil, dan hasil adalah buah dari tindakan, maka cermatlah terhadap pikiran yang menjadi bibitnya.
Mengapa ada orang yang mencapai hasil sedang yang lain tidak?
Cermati pikirannya, sebab dari sana lah semuanya bermula.
Tapi apa itu pikiran? Seperti apa persisnya mengelola pikiran itu? Dan mengapa pula orang lain bisa mengambil alih pikiran kita jika tak kita kendalikan?
Inilah pertanyaan-pertanyaan yang sangat erat kaitannya dengan NLP.
Menguasai cara mengelola pikiran adalah langkah awal menjadi pemimpin diri, menjadi orang bertanggung jawab atas responnya sendiri.
Pikiran itu seperti film.
Ya, seperti, bukan sama. Film adalah analogi yang menarik untuk menggambarkan cara kerja pikiran.
Ada film yang kita tonton hingga menggerakkan pikiran, seperti jenis film berlayar 3 dimensi.
Namun ada film yang tak meninggalkan jejak. Bedanya dengan film, pikiran kita tak memerlukan perangkat khusus untuk menciptakan efek-efek itu, sebab semuanya sudah ada di dalam.
Silakan pikirkan orang yang Anda cintai. Apa yang muncul?
Ada gambar? Ada suara? Ada sensasi rasa?
Bagus. Sampai di sini saja kita sudah menyadari bahwa yang bernama pikiran rupanya sesuatu yang memiliki struktur.
Ada yang saat berpikir, gambar lah yang seketika tampak dalam benak.
Ada yang seketika mendengar suara, kata-kata, lagu dalam kepalanya.
Ada yang merasakan sensasi rasa di bagian tubuh tertentu. Ada yang kombinasi dari ketiganya.
Nah, gambar, suara, dan rasa itu, terdiri dari 2 unsur:
struktur dan isi.
Isi soal cerita dalam pikiran itu.
Apa, siapa, dimana, kapan yang Anda pikirkan.
Struktur, adalah soal bagaimana ia tergambakan, terdengar, dan terasa dalam pikiran Anda.
“Siapa yang muncul dalam benak Anda saat memikirkan seseorang yang Anda cintai?” adalah pertanyaan soal isi.
“Bagaimana kah orang itu tergambar dalam benak Anda? Berwarna, 3 dimensi, dekat? Atau hitam putih, 2 dimensi, jauh? Bagaimana pula suaranya terdengar? Stereo, mono, keras, lembut? Apa sensasi yang Anda rasakan? Perasaan hangat di dada, berdegup kencang, mengalir ke bagian tubuh yang lain?” adalah pertanyaan soal struktur, soal ‘bagaimana’ sebuah ingatan disimpan.
Dan, NLP adalah soal struktur ini. Sebab dalam banyak kali, struktur lah penyebab kita senang atau sedih, semangat atau loyo, antusias atau bosan, dsb.
Sebuah pekerjaan, netral saja adanya. Tapi kala ia diingat dalam gambar yang suram, hitam putih, kabur, 2 dimensi, suara-suara atasan yang memekakan telinga, sehingga hadir sensasi cemas dan takut dalam diri, jadilah ia menyebalkan.
Lain cerita kala ia diingat dalam gambar yang cerah, 3 dimensi, warna warni, suara-suara yang merdu, lalu timbul rasa senang bercampur bahagia yang menyelimuti seluruh tubuh.
Dan menariknya, kesemua struktur itu berada dalam kendali kita. Ya, sebab hidup memang selalu terdiri dari 2 bagian.
Satu ada di tangan Tuhan, satu diberikan pada kita melalui potensi pikiran yang Dia berikan. Yang pertama adalah kejadian yang kita alami, yang terjadi tanpa kita bisa kendalikan.
Yang kedua adalah cara kita menyimpan dalam ingatan, dalam pikiran, yang bisa kita kendalikan.
Allah mungkin menakdirkan kita mengalami kehilangan dompet, namun pilihan ada dalam diri kita untuk menyimpan peristiwa itu sebagai ingatan yang traumatik atau reflektif. Pikiran kemarahan atau keikhlasan.
OK, bagaimana persisnya kita mengelola pikiran?
Dengan memegang remote control pikiran kita sendiri. Persis seperti menonton film, kita bisa memilih film yang kita tonton, mempercepat atau memperlambatnya, mengubah warnanya, mengecil-besarkan suaranya, dst.
Sejatinya kita memiliki control panel dalam pikiran yang bisa kita kendalikan sesuai kebutuhan.
Mengalami kejadian yang menakutkan? Cek bagaimana ia terekam. Jika gambarnya besar, kecilkan. Jika suaranya besar, kecilkan.
Mengalami kejadian yang mengesankan? Cek bagaimana ia terekam. Jika gambarnya sedang, besarkan.
Jika suaranya kecil, tinggikan. Jika intensitas sensasi rasanya biasa saja, naikkan. Persis seperti sutradara film yang leluasa menentukan bagaimana tiap adegan terjadi.
Ini lah state management, alias pengelolaan kondisi. Dan state jenis ini, yang langsung bersentuhan dengan kejadian, disebut sebagai primary state. Menariknya, kita tidak hanya memiliki state jenis ini. Kita memiliki banyak jenis state lain. Salah satunya adalah meta state, alias state tentang state.
Semisal Anda senang membaca. Maka senang adalah primary state Anda, yakni kondisi dasar yang langsung Anda rasakan saat membaca. Namun jangan berhenti disitu. Jika Anda ingin meningkatkan dampak dari state senang ini, Anda bisa menambahkan state lain di atasnya, misalnya bangga, sehingga Anda bangga dengan kesenangan Anda membaca. Bukankah sekarang sensasi yang Anda rasakan pun menjadi berbeda?
Contoh lain, state malas. Anda malas membersihkan rumah. Bagaimana jika sekarang kita tambahkan state malu, sehingga Anda menjadi malu atas rasa malas Anda membereskan rumah? Bukankah yang terakhir ini memicu perilaku yang berbeda pada diri Anda?
Maka menurut Michael Hall—salah satu NLP Developer yang mengembangkan model ini—untuk mengubah state, kita tidak hanya bisa menggunakan pengubahan submodalitas sebagaimana yang kita lakukan pada primary state. Kita bisa—bahkan lebih mudah—mengubahnya dengan melakukan pengubahan meta state.
Apa pasal?
Ya sebab ada kaidah bahwa state yang di atas mengendalikan state yang ada di bawahnya. Dengan kata lain, state yang di atas berfungsi sebagai kerangka (frame) bagi state di bawahnya. Persis seperti salah satu presuposisi NLP yang mengatakan bahwa makna tergantung pada konteks tempat ia berada. Maka makna dari sebuah state, bergantung pada makna dari state yang berada di atasnya.
Wow! Betapa menariknya saya menemukan hal ini kala pertama kali memahaminya. Sebab menurut pengalaman saya, pengubahan meta state terasa lebih ’halus’ daripada mengubahprimary state. Primary state acapkali merupakan simtom semata. Masalah yang sebenarnya terletak pada meta state yang menaunginya. Michael Hall sering mengatakan, ”People never be the problem. The frame is the problem.” Masalahnya bukan terletak pada orangnya, melainkan pada kerangka berpikir (meta state) yang ia gunakan saat itu.
Nah, kalau sudah tahu begini, lalu mengapa pula saya tadi mengatakan bahwa bisa saja pikiran kita diambil alih oleh orang lain?
Ya sama prosesnya. Bagaimana jika Anda menonton TV, lalu remote control-nya Anda letakkan di meja tanpa disentuh. Anda pun tak terlihat ingin menonton secara serius apa yang sedang tertayang. Apa yang akan terjadi kala seseorang datang? Ya, ia akan mengambil remote itu, dan mengambil alih tayangan Anda. Akhirnya, Anda ’dipaksa’ untuk menikmati tayangan pilihannya.
Begitu pula dengan pikiran kita. Ia tak pernah berhenti bekerja selama kita hidup. Jika kita tak mengendalikan, maka ia akan merespon semata pada apa yang terjadi di sekeliling. Membiarkan hal ini terjadi, jangan heran jika tiba-tiba kemudian kita kehilangan arah dalam hidup, tak termotivasi, tak bergairah, dan kawan-kawannya.
Maka jika Jack Welch pernah mengatakan, ”Change your destiny, or someone else will”, saya ingin mengatakan, ”Manage your mind, or someone else will.” Kelola pikiran, tentukan tujuan, capai hasil, dan rasakan kebahagiaan.
Manage Your Mind, or Someone Else Will
Reviewed by Edi Sugianto
on
Selasa, Juni 06, 2017
Rating:
Tidak ada komentar: